Senin, 09 Juni 2008

Keraton Yogyakarta

Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat ialah keraton yang dimiliki oleh Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, terletak di Kota Yogyakarta, Indonesia.
Keraton Yogyakarta didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I pasca Perjanjian Giyanti di tahun 1755. Lokasi keraton ini konon adalah bekas sebuah pesanggarahan (semacam istana peristirahatan/villa) yang bernama Garjitawati. Pesanggrahan ini digunakan untuk istirahat iring-iringan jenazah raja-raja Mataram (Kartasura dan Surakarta) yang akan dimakamkan di Imogiri. Versi lain menyebutkan lokasi keraton merupakan sebuah mata air, Umbul Pacethokan, yang ada di tengah hutan Beringan. Bangunan pokok dan desain dasar tata ruang dari keraton berikut landscape kota tua Yogyakarta diselesaikan antara tahun 1755-1756. Bangunan lain di tambahkan kemudian oleh para Sultan Yogyakarta berikutnya. Bentuk istana yang tampak sekarang ini sebagian besar merupakan hasil pemugaran dan restorasi yang dilakukan oleh Sultan Hamengku Buwono VIII (bertahta 1921-1939). Istana ini menjadi istana resmi Kesultanan Yogyakarta sampai tahun 1950 ketika pemerintah Negara Bagian Republik Indonesia menjadikan Kesultanan Yogyakarta (bersama-sama Kadipaten Paku Alaman) sebagai sebuah daerah berotonomi khusus setingkat provinsi yang bernama Daerah Istimewa Yogyakarta. Di samping Keraton Yogyakarta, Kesultanan Yogyakarta setidaknya memiliki dua istana peristirahatan yaitu Ambar Binangun di sebelah barat kota dan Ambar Rukmo di sebelah timur kota (saat ini menjadi lokasi Ambarrukmo Plaza).
TATA RUANG DAN ARSITEKTUR

Arsitektur istana ini adalah Sultan Hamengku Buwono I sendiri, yang merupakan pendiri dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Keahliannya dalam bidang arsitektur dihargai oleh ilmuwan berkebangsaan Belanda - Dr. Pigeund dan Dr. Adam yang menganggapnya sebagai "arsitek dari saudara Pakubuwono II Surakarta". Sebelum menempati Keraton Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono I berdiam di Pesanggrahan Ambar Ketawang yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman.

TATA RUANG

Koridor di Kedhaton dengan latar belakang Gedhong Jene dan Gedhong Purworetno
Dahulu Kompleks Utama Istana dimulai dari Gapura Gladhag di utara sampai di Plengkung Nirboyo di selatan. Bagian-bagian utama keraton Yogyakarta dari utara ke selatan adalah: Gapura Gladag, Pangurakan nJawi/luar, dan Pangurakan Lebet/dalam; Kompleks Alun-alun Lor (Utara) dan Mesjid Gedhe (Masjid Raya Kerajaan); Kompleks Pagelaran, Kompleks Siti Hinggil Lor, Kompleks Kamandhungan Lor; Kompleks Sri Manganti; Kompleks Kedhaton; Kompleks Kamagangan; Kompleks Kamandhungan Kidul (Selatan); Kompleks Siti Hinggil Kidul (sekarang Sasana Hinggil); serta Alun-alun Kidul dan Plengkung Nirbaya yang biasa disebut Plengkung Gadhing.
Bagian-bagian sebelah utara Kedhaton dengan sebelah selatannya boleh dikatakan simetris. Sebagian besar bagunan di utara Kompleks Kedhaton menghadap arah utara dan di sebelah selatan Kompleks Kedhaton menghadap ke selatan. Di daerah Kedhaton sendiri bangunan kebanyakan menghadap timur atau barat. Namun demikian ada bangunan yang menghadap ke arah yang lain.
Selain bagian-bagian utama yang berporos utara-selatan keraton juga memiliki bagian yang lain. Bagian tersebut antara lain adalah Kompleks Pracimosono, Kompleks Roto Wijayan, Kompleks Keraton Kilen, Kompleks Taman Sari, dan Kompleks Istana Putra Mahkota (mula-mula Sawojajar kemudian di nDalem Mangkubumen). Di sekeliling Keraton dan di dalamnya terdapat sistem pertahanan yang terdiri dari tembok/dinding Cepuri dan Baluwerti. Di luar dinding tersebut ada beberapa bangunan yang terkait dengan keraton antara lain Tugu Pal Putih, Gedhong Krapyak, nDalem Kepatihan (Istana Perdana Menteri), dan Pasar Beringharjo.

ARSITEKTUR UMUM

Tiap-tiap kompleks terdiri dari halaman yang ditutupi dengan pasir dari pantai selatan dan ditanami pohon tertentu serta bangunan-bangunan utama dan pendamping. Kompleks satu dengan yang lain dihubungkan dengan Regol (Regol=Gerbang) yang biasanya bergaya Semar Tinandu, beratap trapesium seperti joglo tanpa tiang dan hanya ditopang oleh dinding yang menjadi pemisah satu kompleks dengan kompleks berikutnya. Pintu yang berketinggian sekitar 2,5-3 m terbuat dari kayu jati yang tebal. Di belakang atau di muka setiap gerbang biasanya terdapat dinding penyekat yang disebut Renteng atau Baturono. Pada regol tertentu penyekat ini terdapat ornamen yang khas.
Bangunan-bangunan Keraton Yogyakarta lebih terlihat bergaya arsitektur Jawa tradisional. Di beberapa bagian tertentu terlihat sentuhan dari budaya asing seperti Portugis, Belanda, bahkan Cina. Bangunan di tiap kompleks biasanya berbentuk/berkonstruksi Joglo atau derivasi/turunan konstruksinya. Joglo terbuka tanpa dinding disebut dengan Bangsal sedangkan joglo tertutup dinding dinamakan Gedhong (gedung). Selain itu ada bangunan yang berupa kanopi beratap bambu dan bertiang bambu yang disebut Tratag. Pada perkembangannya bangunan ini beratap seng dan bertiang besi.
Permukaan atap joglo berupa trapesium. Bahannya terbuat dari sirap kayu, genting tanah, maupun seng dan biasanya berwarna merah atau kelabu. Atap tersebut ditopang oleh tiang utama yang di sebut dengan Saka Guru yang berada di tengah bangunan, serta tiang-tiang lainnya. Tiang-tiang bangunan biasanya berwarna hijau gelap atau hitam dengan ornamen berwarna kuning, hijau muda, merah, dan emas maupun yang lain. Untuk bagian bangunan lainnya yang terbuat dari kayu memiliki warna senada dengan warna pada tiang. Pada bangunan tertentu (misal Manguntur Tangkil) memiliki ornamen Putri Mirong, stilasi dari kaligrafi [[Allah]], [[Muhammad]], dan Alif Lam Mim Ra, di tengah tiangnya.
Untuk batu alas tiang, Ompak, berwarna hitam dipadu dengan ornamen berwarna emas. Warna putih mendominasi dinding bangunan maupun dinding pemisah kompleks. Lantai biasanya terbuat dari batu pualam/marmer (marble) warna putih atau dari ubin bermotif. Ketinggian lantai secara umum sekitar 5-15 cm dari permukaan halaman. Pada bangunan tertentu memiliki lantai utama yang lebih tinggi sekitar 40-60 cm (misal pada bangsal Witono dan Kencana). Pada bangunan tertentu dilengkapi dengan batu persegi yang disebut Selo Gilang tempat menempatkan singgasana Sultan.
Tiap-tiap bangunan memiliki kelas tergantung pada fungsinya termasuk kedekatannya dengan jabatan penggunanya. Kelas utama misalnya, bangunan yang dipergunakan oleh Sultan dalam kapasitas jabatannya, memiliki detail ornamen yang lebih rumit dan indah dibandingkan dengan kelas dibawahnya. Semakin rendah kelas bangunan maka ornamen semakin sederhana bahkan tidak memiliki ornamen sama sekali. Selain ornamen, kelas bangunan juga dapat dilihat dari bahan serta bentuk bagian atau keseluruhan dari bangunan itu sendiri.

GLADHAG PANGURAKAN

Gapura Gladhag dahulu terdapat di ujung utara Jalan Trikora (Kantor Pos Besar Yogyakarta dan Bank BNI 46) namun sekarang ini (Desember 2007) sudah tidak ada. Di sebelah selatannya adalah Gapura Pangurakan nJawi (luar) yang sekarang masih berdiri dan menjadi gerbang pertama jika masuk Keraton dari utara. Di selatan Gapura Pangurakan nJawi terdapat Plataran/lapangan Pangurakan yang sekarang sudah menjadi bagian dari Jalan Trikora. Batas sebelah selatannya adalah Gapura Pangurakan Lebet (dalam) yang juga masih berdiri. Ketiga gapura tersebut adalah gerbang utama (main gate) untuk masuk ke Keraton Yogyakarta. Selepas dari Gapura Pangurakan Lebet terdapat Kompleks Alun-Alun Lor.

ALUN-ALUN UTARA

Alun-alun Lor (Utara) adalah sebuah lapangan berumput (aslinya berpasir) di bagian utara Keraton Yogyakarta. Dahulu tanah lapang yang berbentuk persegi ini dikelilingi oleh tembok yang cukup tinggi. Sekarang tembok ini tidak terlihat lagi kecuali di sisi timur bagian selatan. Saat ini alun-alun dipersempit hanya bagian tengahnya saja. Di bagian pinggir sudah dibuat jalan beraspal yang dibuka untuk umum. Gambaran yang relatif masih seperti aslinya (Desember 2007) ada di Alun-Alun Kidul (selatan) dimana dinding yang mengelilingi masih dapat disaksikan secara utuh.
Di pinggir Alun-alun ditanami deretan pohon Beringin (Ficus benjamina; famili Moraceae) dan ditengah-tengahnya terdapat sepasang pohon beringin yang diberi pagar. yang disebut dengan Waringin Sengkeran/Ringin Kurung. Kedua pohon ini diberi nama Kyai Dewadaru dan Kyai Janadaru . Versi lain Kyai Dewadaru dan Kyai Jayadaru/Wijayadaru. Pada zamannya selain Sultan hanyalah Pepatih Dalem (Chief of Adminstrative Officer) yang boleh melewati/berjalan di antara kedua pohon beringin yang dipagari ini. Pejabat rendah apalagi rakyat tidak diperbolehkan melewatinya dan harus berjalan memutar. Tempat ini pula yang dijadikan arena rakyat duduk untuk melakukan "Tapa Pepe" (harfiah=menjemur diri) saat Pisowanan Ageng sebagai bentuk keberatan atas kebijakan pemerintah.
Tapa Pepe dapat dilihat sebagai sebuah cermin nilai-nilai demokrasi yang dibungkus oleh kearifan lokal dalam bentuk demonstrasi secara tertib, tidak anarkis, dan tunduk pada aturan main yang telah ditetapkan. Pejabat istana (abdi-Dalem Kori) akan menerima mereka untuk mendengarkan segala keluh kesah kemudian disampaikan kepada Sultan yang sedang duduk di Siti Hinggil. Peristiwa terakhir konon terjadi pada zaman Sultan Hamengkubuwono VIII ketika rakyat tidak sanggup untuk membayar pajak yang ditetapkan oleh Pepatih Dalem bersama Gubernur Belanda di Yogyakarta.
Di sela-sela pohon beringin di pinggir sisi utara, timur, dan barat terdapat pendopo kecil yang disebut dengan Pekapalan, tempat transit para Bupati dari daerah Mancanegara Kesultanan. Bagunan ini sekarang sudah banyak yang berubah fungsi dan sebagian sudah lenyap. Dahulu dibagian selatan terdapat bangunan yang sekarang menjadi kompleks yang terpisah, Pagelaran.
Pada zaman dahulu Alun-alun Lor digunakan sebagai tempat penyelenggaraan acara dan upacara kerajaan yang melibatkan rakyat banyak. Di antaranya adalah upacara garebeg serta sekaten, acara watangan serta rampogan macan, pisowanan ageng (rakyat dan pejabat menghadap raja sebagai tanda kesetiaan mereka kepada raja dan kerajaan) dan sebagainya. Sekarang tempat ini sering digunakan untuk berbagai acara yang juga melibatkan masyarakat seperti konser-konser musik, kampanye, rapat akbar, tempat penyelenggaraan ibadah hari raya Islam sampai juga digunakan untuk sepak bola warga sekitar dan tempat parkir kendaran.

MESJID RAYA YOGYAKARTA

Kompleks Masjid Raya Kesultanan terletak di sebelah barat kompleks Alun-alun utara. Kompleks yang juga disebut dengan Mesjid Gedhe Kauman ini dikelilingi oleh suatu dinding yang cukup tinggi sekitar 2-3 meter. Pintu utama kompleks terdapat di sisi timur. Arsitektur bangunan induk berbentuk tajug persegi tertutup dengan atap bertumpang tiga. Untuk masuk ke dalam terdapat pintu utama di sisi timur dan utara. Di sisi dalam bagian barat terdapat mimbar bertingkat tiga yang terbuat dari kayu, mihrab (tempat imam memimpin ibadah), dan sebuah bangunan mirip sangkar yang disebut maksura. Pada zamannya (untuk alasan keamanan) di tempat ini Sultan melakukan ibadah. Serambi masjid berbentuk joglo persegi panjang terbuka. Lantai masjid induk dibuat lebih tinggi 50-80 cm dari serambi masjid dan lantai serambi sendiri lebih tinggi 80-100 cm dibandingkan dengan halaman masjid. Di sisi utara-timur-selatan serambi terdapat kolam kecil. Pada zaman dahulu kolam ini untuk mencuci kaki orang yang hendak masuk masjid.
Pagongan berada di timur laut dan tenggara bangunan masjid raya. Pagongan di timur laut masjid disebut dengan Pagongan Lor dan yang berada di tenggara disebut dengan Pagongan Kidul. Saat upacara Sekaten, Pagongan Lor digunakan untuk menempatkan gamelan sekati Kangjeng Kyai (KK) Naga Wilaga dan Pagongan selatan untuk gamelan sekati KK Guntur Madu. Di barat daya Pagongan Kidul terdapat pintu untuk masuk kompleks masjid raya yang digunakan dalam upacara Jejak Bata (harfiah: menendang batu bata) pada upacara Sekaten di tahun Dal. Selain itu terdapat Pengulon, tempat tinggal resmi Kangjeng Kyai Pengulu (semacam Menteri Agama/Imam Agung/Mufti Kerajaan) di sebelah utara masjid dan pemakaman di sebelah barat masjid.

Tidak ada komentar: